Dewirahmawati8's Blog

Archive for November 2009

Sebentar lagi adalah hari raya Idul Adha, saatnya umat muslim ada yang melaksanakan haji dan berqurban.  Pengen banget saat ini berada di tanah suci tapi masih waiting list 😦 .  Tiba-tiba mamah nelp kalau beliau sudah mencarikan hewan qurbanku, beliau bilang ”ada yang keriting mau ga?” mendeskripsikan hewan yang mau di beli.  Kata ku ”Gpp yang penting bersih dan ga bau”. Kata temanku ga ngaruh lagi mau kriting atau ga bau, sekalian saja cari yang cakep mirip Nicholas Saputra. Ah…kubilang Nichol bukan tipe ku ga seru, mending seperti Yadi sembako lucu ha…ha… Selama ini tidak pernah beli hewan qurban sendiri pasti nitip sama kakak atau mama, dari mulai pemilihan sampai beres.

Padahal sesungguhnya hewan itu akan di potong kemudian meninggal, kupikir sebaiknya dimanusiakan juga sebagai pengorbanan dia. Dimandiin dulu supaya bersih. Walaupun tidak berpengaruh kali yang penting dagingnya. Masalahnya ini hanya sekedar kebiasaan saja. Sedikit ribet sih tapi kalau kita fun-fun saja why not. Kalau di kalimatan tempat nenek seberang jalan rumahnya adalah sungai Mahakam so tinggal bawa hewan tersebut dan di bersihkan. Kalau bulu hewan itu bersih juga bisa di sedekahkan kepada fakir miskin yang memerlukan. Karena dalam keadaan hidup lebih mudah di bersihkan. Kalau di rumah abah tasik, rumahnya kan besar di sana ada kolamnya dan dinding depan rumahnya di buat banyak celah, jadi ketika menyerahkan hewan qurban yang sudah dibungkus kresek hitam lewat dinding itu. Saya ga pernah tega tuh untuk melihat hewan yang disembelih, lihatlah mata mereka begitu ah….sulit digambarkan dengan kata-kata, semoga mereka berbahagia.

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya. Termasuk korban perasaan kali ya:)

Qurban hanya sunah untuk yang mampu. Kata mampu mungkin bersifat universal, kalau nunggu punya yang serba wah ga akan ada habis dan puasnya. Berkaca dari teman yang berjualan gorengan hanya untuk berqurban, di setiap mendekati idul adha dia mencari insentif dengan membuat gorengan dan sebelum berangkat kerja menitipkannya di warung. Subhanalloh ada niat yang cukup besar untuk saling berbagi. Di pikir-pikir banyak cara kalau memang kita punya niat berqurban, ada yang ikut arisan tiap bulan atau menyisihkan uang jajan tiap minggu. Masalahnya kita suka sayang  dan merasa masih banyak keperluan atau keinginan yang belum terpenuhi. Apalagi sekaligus mengeluarkan uang besar. Sesaat menunda keinginan beli kalung berlian ha..ha..  ya..gpp mengorbankan keinginan pribadi.

Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

Sebutlah namanya Pak kusno yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan di daerah Bekasi. Sebagai tukang bangunan yang bekerja dari pagi hingga sore memerlukan energi yang ektra karena yang bekerja adalah kekuatan fisik. Kegiatan rutinnya adalah mengaduk semen dan mengangkat batu-batu untuk bangunan. Tentunya tak mengenal cuaca terik panas demi mengejar setoran. Pak Kusno tinggal sendirian di sebuah rumah petak yang dia sewa tiap bulan, sedangkan istri dan anak-anaknya berada di kampong Jawa.

Beberapa hari yang lalu beliau meninggal di rumah kontrakannya, sungguh kasian dan saya turut berduka. Sebenarnya saya pribadi tak mengenal beliau dan tak pernah melihat sosoknya namun karena ada bendera kuning di tepi jalan beberapa ratus meter dari jalan menuju rumah, berarti itu tanda ada kematian. Menurut informasi yang di dapat beliau meninggal sekitar tengah malam atau shubuh, karena ketika di jumpai tubuhnya sudah kaku. Tukang warung yang bertetangga dengan kontrakannya yang mendobrak pintu karena sudah jam 8 pagi, kenapa Pak Kusno tidak keluar dari rumah. Perasaan curiga timbul karena tidak seperti biasanya Pak kusno belum datang ke warungnya, padahal setiap pagi jam 6.00 Pak kusno pasti singgah ke warungnya walau hanya untuk minum kopi.  Temannya sesama tukang bangunan bercerita bahwa memang kemarin Pak Kusno terlihat tak enak badan, karena mukanya pucat pasi. Kemudian di nasehati agar hari itu tak usah bekerja lebih baik istirahat saja dulu, namun almarhum Pak Kusno bilang ”kasian anak istri saya kalau saya tak bekerja, karena mereka sedang menunggu kiriman uang dari saya”.  Subhanallaoh perjuangan Pak kusno rela berkorban demi keluarga.  Saya mendengarnya sangat miris, alamarhum tak memperdulikan dirinya karena tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.  Saya anjungin jempol untuk para suami yang seperti Pak kusno.  Mba warung bilang memang habis maghrib  berpapasan di jalan dan menanyakan keadaanya sekarang, almarhum bilang saat itu kalau dadanya sakit dan masuk angin tadi sudah ada bocah yang ngerokin. Kemungkinan beliau meninggal karena angin duduk.  Saya berpendapat perawatan yang tidak intensif, maklumlah dengan keadaannya maka tidak ada yang menuangkan secangkir air hangat dan makan pun apa adanya.

Belum selesai penderitaan Pak Kusno, istrinya di kampung susah di hubungi, setelah mencari-cari info lanjut akhirnya ada juga telp tetangganya untuk mengabari suaminya sudah meninggal.  Diputuskan untuk dikubur di kampung saja, karena di kota semua serba mahal dan kalau ziarah pun rada sulit.  Ya…begitulah zaman sekarang mati saja pakai ongkos tidak ada yang gratis.  Dari gali kubur ratusan ribu, belum lagi sewa tanah kubur yang harganya sampai jutaan. Uh…meninggal saja masih pakai duit dan dipersulit. orang miskin makin miskin.  Untungnya masih ada yang berbaik hati tetangga yang bisa nyupir mengantarkan ke kampung dengan hanya sewa ambulan 2.5 juta, itu lumayan murah yang seharusnya 5 jutaan karena daerah rumahnya cukup jauh di Jawa Timur, sebagai ganti bensin. Dengan sumbangan warga yang berhati mulia, akhirnya bisa juga jenazah dipulangkan.   Tetangga adalah kelurga terdekat kita, berbaik-baiklah dengan tetangga seperti anjuran rosul. Memang tugas kita yang masih hidup mengurusi dan mengantarkan mayat ke peristirahatan terakhir.

Semoga kita kelak kembali keharibaan sang pencipta tak menyusahkan, tapi dengan tenang dan damai.  Apa selain amal kudu juga nyiapin rumah masa depan minimalis (2 x 1m) yang kelak sebagai tempat tidur selamanya + kain kafan + batu nisan?  Jarang sekali sepertinya orang yang mempersiapkan kematiannya sendiri. Sudah terpikirkah di mana kelak kita dikebumikan? ah…bendera kuning itu pasti untuk tiap – tiap yang bernyawa tidak seperti janur kuning. Selamat jalan Pak Kusno semoga amal ibadahmu diterima disis-Nya. Amin. Cinta yang sejati tidak terletak pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

Ku berdiri, sendiri menatap rembulan

Suasana pekat menyulam hari mejadi hening

Malam tak berbintang bersama angin menghembuskan hawa dingin

Ku mencari-cari, adakah “awan merah muda” menari-nari di peraduanku?

Menunggu bersama waktu yang berputar dengan poros bumi

Daun-daun pun berguguran dari tangkainya

Ku tercengang, pohon membiarkan daun jatuh

Apakah pohon sudah enggan bersamanya atau angin yang membuatnya layu?

Ah….hidup ternyata seperti daun itu

Adakalanya hijau segar, mempesona & menghiasi kokohnya pohon

Adakalanya cobaan datang melanda, akupun terjatuh

Namun waktu tak bisa diputar kembali

Melalui rangkaian episode kehidupan

Berusahalah melangkah terus di jalan ketaatan sampai ajal menjemput

Pada saatnya harus ikhlas meninggalkan semua keindahan yang ada

Inilah hidup, persinggahan sementara

Tak ada hidup yang tak melelahkan

Tak ada hidup yang tak kelabu

Diantara kegelapan, berharap ”awan merah muda” pasti kan hadir

Semua berjalan sesuai kehendak-Nya

Walau kadang kutak mengerti arah jalan takdir

Hanya sebuah asa untuk berbagi dan berbahagia

( by DR untuk kamu yg  sedang berwajah mendung )

jilbab biru

Di bawah langit-Nya  kuberlindung, di atas lantai rumah-Nya kuberpijak menepis kegundahan hati seraya melantun basmalah dalam tiap desah dan langkah kaki. Berat tapi harus kupikul semua rasa yang bercampur menjadi satu. Di pelataran dunia menggambarkan fenomena hidup ini fana, apakah kematian dapat melepaskan semuanya? Bintang hadir pada waktunya, berapapun seringnya kita menangis tak akan merubah keadaan, ku  menangis dan diam sama saja bagi mereka. Tapi kadang tangis itu diperlukan untuk meluapkan rasa yang ada.
Masalah adalah teguran padaku, sakit adalah sebagai penebus dosaku, kesedihan adalah peringatan bagiku. Payung imanku masih lusuh, terpaan hujan dan panas masih menyisakan sedikit goresan di kalbu.  Aku bercermin masih banyak kealfaan dan kebuburukan pada diriku. Ku bukanlah bidadari yang hebat seperti Fathimah Az-zahra ataupun semulia Khadijah.  Aku masih penuh kehinaan dan noda, akupun tak tahu kelak apakah ada tempat untukku di surga di sana.? Ketika lahir tanpa dosa ketika pulang ke pangkuanNya membawa dosa, Ah…..pasti Tuhan marah. Maafkan aku Tuhan.
Aku tau pasti Engkau cemburu bila hati ini kosong dari mencintaiMu dan mengingatMu. Hidup ini ingin berarti di hadapanMu Tuhan. Beri aku selalu petunjuk, terangi jalanku, bersihkan hidupku dari kontaminasi dosa, sterilisasi hati ini dengan formalin tawadhu. Ulurkan selalu tanganMu ketika aku terjatuh di kumbangan lumpur yang kotor.  Aku hanya menjalani perjanjian dalam rahim Ibuku.  Ilmuku masih dangkal, Ya…..Rabbi ada segudang harap beri aku malaikat penjaga hati ini yang senantiasa mengingatMu.
Aku berjilbab untuk mendapatkan kekuatanMu, aku malu jika menghianati jilbab ini. Nikmat dunia hanya sejengkal, tolong selamatkan aku untuk memperbaiki diri.  Walaupun aku merangkak mendekatiMu, Engkau berjalan menyambutku. Semua sudah Engkau atur, rencana yang indah untukku sebagai cara untuk mengubahku supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan. Amin

aku ingin sepertimu

sejuk memandangmu

putih, menawan hati

setiap orang menanti


saat berkembang di lahan

engkau tak berkilauan sendirian

rangkaianmu memiliki makna

menciptakan sejuta pesona


hidup ini seperti rantai

satu mata rantai memberi arti

pada keseluruhan rantai

seperti jalinan laut dan pantai


bunga keikhlasan

kedamaian yang menembus hati

menebar aroma wangi

harumnya sampai ke surgawi

(By DR)

Kejamnya Ibu tiri tak sekejam Ibu kota.  Mungkin ada benarnya tak semua Ibu tiri jahat, selama masih ada hati so kita masih bisa berkompromi dengan makhluk yang namanya Ibu.  Persfektif di luar memandang Ibu tiri Ih….galak…….serem, hanya sayang sama ayah saja. bla bla bla. Adakah wanita yang bercita-cita menjadi Ibu tiri? mungkin tak sampai terpikirkan.  Namun kita tak bisa menolak suratan takdir apabila kita berjodoh dengan duda beranak.  Sehingga jika menikah dan langsung dapat gelar Ibu tiri.  Apapun itu, bisa jadi pahala atau dosa, kitalah yang menyingkapi jalan kebajikan atau kelalaian.  Menabung pahala tentunya dengan memelihara anak titipan Tuhan ke tangan kita.  Energi positifnya diharapkan double ibadah, menikah dan mengurus anak.

Cerita ini mengkisahkan kebahagiaan menjadi Ibu tiri. Ku lihat di sinar matanya yang berbinar ketika bercerita tentang anak barunya.  Ia belajar menjadi Ibu dan memahami anak yang bukan dari rahimnya.  Mengenali kebiasaan dan mengajarkan aturan-aturan yang mesti di taati. Sebutlah Lala, dia seorang muslimah yang bekerja di kota besar. Statusnya awalnya adalah gadis yang menikah dengan duda beranak satu.

Disini saya melihat sisi lain di balik kepingan koin rumah tangga.  Harus rela berbagi perhatian dan kasih sayang, siapkah anda menjadi Ibu tiri? perlu kebesaran hati untuk menerima keduanya. Meyakinkan diri dan keluarga sebelum mengambilan keputusan tersebut. Adaptasi di rumah dan keluarga baru.  Keikhlasan…ya…keikhlasan yang harus berbicara untuk mendamaikan hati.

Yang dilakukan Lala yaitu menempatkan diri seperti Ibu kandung, perlu proses untuk bisa dicintai dan mencintai.  Larangan pada anak tiri bisa jadi bumerang apalagi jika sang papa tak mendukung, tapi semua kembali ke komunikasi dan komitmen kedua belah pihak. Perbedaan pendapat tidak disingkapi dengan bijak akan menimbulkan konflik.  Bisa jadi cara memanjakan anak antara ibu dan ayah berbeda. Jangankan Ibu tiri, orang tua kandung saja bisa beda persepsi memandang dan memberikan kasih sayang kepada anaknya. Walaupun hal kecil bisa jadi besar jika tak sepaham. Jejak kebajikan Lala perlu diacungi jempol. Semoga waktu mengajarkan celah yang terbaik.

Setiap orang itu unik, tak perlu membandingkan yang satu dengan yang lain.  Belajarlah untuk mengerti dan menyesuaikan diri dengan pribadi yang berbeda karakter. Setiap tetes karunia ada pertanggungjawaban, ada amanah yang di emban, ada nikmat yang harus di syukuri.  Ia ingin membangun sebuah kebun yang luas di dunia ini sebagai ladang yang hasilnya akan dipetik akhirat nanti. Tak salah deh abang A.Y menerima Lala sebagai istrinya. Ibu yang bisa diandalkan cie..cie…

Tunggu kelanjutan kisah selanjutnya